Selasa, 30 November 2010

Pisang Politik, Susu Politik

Pisang Politik, Susu Politik

Binhad Nurrohmat*

Rakyat sekalian,
Selain bercinta, kebutuhan dan kenikmatan paling primitif adalah makan. Rakyat bisa bertahan hidup tanpa bermain golf, membaca puisi, atau membuka facebook, tapi rakyat mati tanpa makan. Krisis pangan skala besar tak hanya membuat banyak rakyat perut lapar, tapi juga bisa mengguncang situasi geo-sosial-politik global. Banyak pemimpin negara kaya cemas akan terimbas oleh “amarah perut” rakyat yang terjadi di negara-negara miskin. Kecemasan ini bukan tanpa alasan, sebab kedaulatan pangan punya korelasi dengan eksistensi dan ketahanan bangsa.

Pendiri Bank Garmeen dan penerima hadiah nobel perdamaian Muhammad Yunus bilang, “Pemerintah takkan bisa mengatasi masalah harga beras yang melambung di negara-negara yang terkena krisis. Mereka boleh saja menerangkan alasan melambungnya harga, tapi rakyat tak akan memaafkan mereka.” Dan John Walton dalam risalahnya “Pasar Bebas dan Revolusi Kelaparan” berpendapat bahwa globalisasi dan pasar yang merupakan pilar dan penyokong negara-negara Barat yang kaya akan terancam oleh kelaparan dan krisis pangan di negara-negara miskin.
***
Rakyat sekalian,
Pangan adalah urusan semua orang. Raja, tukang ojek, maupun penyair tak bisa menghindar dari urusan makan. Jika (salah satu) etos kepenyairan adalah tersentuh oleh dan menyuarakan urusan banyak orang yang terbungkam kekuasaan, maka kehadiran buku kumpulan puisi “Kedaulatan Pangan” (2009) karya Yonathan Rahardjo ini beralasan secara politis maupun estetis.

Membaca kumpulan puisi ini akan menemukan banyak puisi yang memandang makanan tak semata sebagai kebutuhan biologis, tapi juga menjadi metafor politik juga misalnya puisi ini:

PISANG AMBON

Bangun bangun bangun
kurindu nahasiswa turun jalan lagi
makan nasi bungkus lemparan ibu-ibu
98 rontokkan gigi Suharto
sayang sayang sayang
mahasiswa terpecah kecil lebih dari rambut
gigi palsu Suharto lebih kuat lekat di gusi goyang
waha wah wah
mantan mahasiswa jadi juragan
lulus kuliah kerja enak di kursi empuk
berubahlah garis keras ke garis lembek
selembek pisang ambon
duh duh duh
buah besar yang keras hanya akarnya
buah lembek apalagi jusnya yang banyak disaji resto
bekas mahasiswa banyak suka
bangun bangun bangun
apa mahasiswa 98 sudah selembek pisang ambon rebus
ini?
kutunggu jawaban tidak
ya
tidak

Puisi “Pisan Ambon” bukan cerita romantik tentang pisang belaka. Pisang di sini bukan sekadar buah-buahan yang enak dimakan dan bergizi. Pisang dalam puisi ini “menendang” ke sana-sini, dari “jus pisang“ hingga “pisang politis” (apa mahasiswa 98 sudah selembek pisang ambon, katanya). Mitos pisang sebagai lambang ke-macho-an berubah menjadi lembek di sini. “Kontra mitos” juga bekerja dalam puisi ini.

Selain itu, puisi Yonathan pun menyinggung politik peternakan dan politik industri pangan yang meraih keuntungan dengan memberikan risiko terhadap konsumennya, misalnya puisi berikut ini:

SUSU INDONESIA RAYA

Susu minuman wajib protein hewani tinggi bukan?
mengelola susu mesti penuhi kaidah higiene bukan?
bahkan sejak pemberian pakan ternak
bukan cuma pangan peternak bukan?
bagaimana memeras puting?
bagaimana mengirim susu?
bagaimana memproses susu?
bagaimana mengemas susu?
bagaimana mengirim lagi?
namun bagaimana mungkin susu yang kita minum
bebas residu antibiotik
kalau para medis dan medis ternak selalu suntikkan
antibiotik spektrum luas
untuk tiap gejala penyakit yang cuma mirip?
bagaimana mungkin susu sapi yang kita sedot
nikmat dan yummy bebas dari pestisida
kalau air yang mengaliri rumput penuh pestisida?
susu siapa?
susu sapi atau susu kuda liar?
susu bebas atau cuma cap bebas residu antibiotika?
sispa bersepeda mengantar susu?
bisakah kita minum susu tanpa berpikir se-Indonesia
Raya?

Susu merupakan bahan pangan penting dan mendasar spisies manusia karena kandungan proteinnya. Pertumbuhan dan kecerdasan manusia sangat terkait dengan protein. Semua orang pernah minum susu, susu ibu maupun susu hewan/tumbuhan. Tapi iklan dan perdagangan susu kaleng (awetan) melulu membujuk publik dengan menjual khasiat atau manfaat susu. “Susu politik” dalam puisi ini menjadi “kontra iklan industri susu” yang cenderung tak memberikan informasi ke konsumen tentang bahaya kimia susu pabrik. Puisi ini melawan “pembungkaman informasi” yang dilakukan oleh politik industri susu.
***
Rakyat sekalian,
Tema dan gaya puisi Yonathan dalam kumpulan ini menggoret garis yang tak klise dalam kertas perpuisian Indonesia, setidaknya karya ini menjadi sebuah embrio yang akan lebih bisa memberikan perkembangan puisi yang lebih kukuh lagi, kelak. Kumpulan puisi ini memberikan banyak tantangan bagi dirinya sendiri dan juga bagi kejamakan perpuisian di negeri ini. Bagi saya, kumpulan puisi ini merupakan titik berangkat yang menjanjikan.

Rakyat menunggu…

*Binhad Nurrohmat
Penyair, pengamat rakyat

Materi Diskusi Buku Kumpulan Sajak KEDAULATAN PANGAN, karya Yonathan Rahardjo Kamis, 2 Juli 2009 pk 19.00-selesai di Newseum Cafe, Jl. Veteran I/33 Gambir, Jakarta Pusat.

MAJAS