Selasa, 30 November 2010

Lukisan Makanan

Lukisan Makanan
.: Maulana Achmad
.: disampaikan pada bedah buku kumpulan puisi Kedaulatan Pangan karya Yonathan Rahardjo


Ketika seseorang berniat menuliskan sebuah puisi. Bagi dirinya sesuatu yang dicecap kemampuan indrawinya harus dia tuliskan dalam bentuk rumpun kalimat yang tidak hanya sekedar catatan-catatan saja. Tujuannya ini bisa saja berbeda dengan orang lain yang juga menuliskan puisi. Bagi dirinya puisi haruslah sesuatu yang mempunyai kekuatan menyampaikan pesan. Pesan yang mempunyai kuasa besar, yaitu pesan yang mampu menembus pintu masuk pencernaan fikiran penerimanya. Maka, orang itu pun mulai memilih-milih alat ucap yang mampu memaksa atau paling tidak merayu minat membaca pesan puisinya kelak. Secara tidak sadar, seseorang itu mulai menyusun fondasi bangunan karakter puisi-puisinya. Bagi saya hal ini adalah sebuah kepastian dari alur kerja penulisan puisi.
Hal yang penting adalah bahwa pengalaman indrawi yang telah dicecap adalah percikan awal yang meramu himpunan emosi sebelum munculnya pesan yang ingin disampaikan. Keadaan ini memang sering mempersulit dalam proses penulisan puisi. Sebab jalurnya yang bertahap-tahap. Tetapi tingkat kedisplinan dalam melakukan tahapan-tahapan seperti ini suatu saat akan menjebol hambatan masa. Sampai waktunya kelak puisi itu akan tercipta semudah kita berbicara dengan kekasih kita, semudah kita menenangkan anak kita, semudah kita menyampaikan rindu ke orang tua kita dan seterusnya, tanpa jeda waktu yang lama.
Namun hal ini mempunyai titik puncak kejenuhan. Suatu ketika mereka yang memiliki cara kerja seperti itu akan mencapai titik yang menjenuhkan pembaca puisi-puisinya. Puisinya akan mempunyai “alat ucap” yang cenderung sama pada hampir keseluruhan puisinya. Sehingga secara sekilas puisi-puisi itu akan terbaca seperti cerita-cerita yang berulang walaupun sebenarnya memiliki pesan yang berbeda-beda. Ini adalah keadaan paling membahayakan saat puisi-puisi yang sebaju itu dikumpulkan ke dalam sebuah antologi/buku kumpulan puisi.
Kesan jenuh yang akan muncul dalam diri pembacanya itu dapat membuat puisi tidak terbaca secara utuh. Walhasil yang lekat dalam bacaan hanyalah judul puisi, beberapa bagian tubuh puisi yang menunjukkan ciri khusus sang penyair dan akhir puisi itu. Satu demi satu puisi akan dibaca demikian oleh pembaca buku kumpulan puisi itu. Akhirnya kerja keras si penyair hanya terbaca sebagian kecil saja. Obat yang paling ampuh untuk mengatasi hal itu hanya ada pada kelicikan si penyair untuk terus menarik minat membaca si pembaca puisinya dan impresi yang bisa diserap oleh pembacanya dengan kemampuan penafsiran yang diperdalam berulang-ulang juga. Memang demikianlah, puisi menjadi tidak independen. Puisi itu akan menjadi artefak saja atau sebuah makanan bernutrisi tinggi bila pembacanya juga menunjukkan ketekunan. Saya teringat ucapan penyair dari Makassar, M Aan Mansyur setahun silam bahwa di tangan pembacanya puisi seperti ditulis oleh lebih dari satu penyair. Satu penyair aslinya (yang menuliskan puisi itu pertama sekali) kedua, ketiga, keempat dst adalah pembaca puisi itu.
Lalu apa yang sudah dilakukan oleh penyair/prosais/pelukis Yonathan Rahardjo pada buku kumpulan puisi keduanya yang berjudul Kedaulatan Pangan ? Berdasarkan fikiran saya seperti yang tertulis di atas saya memiliki beberapa kerangka dasar untuk mengambil yang lebih dari sekadar bacaan puisi-puisi dia.
Sketsa
Terlepas dari perkembangannya saat ini bahwa sketsa telah menjadi genre seni rupa tersendiri, namun dapat dipastikan seorang perupa akan memulai kerjanya melalui sebuah atau beberapa sketsa. Informasi yang muncul dari sebuah sketsa adalah kemampuan mencerna pengalaman-pengalamannya ke dalam garis-garis yang secara awam terkadang terlihat jauh dari keindahan visual. Informasi lainnya adalah kemampuan sang perupa untuk menggoreskan garis-garis paling representatif terhadap pengalaman-pengalamannya. Pada tahap ini hal yang paling menarik adalah kita sudah dapat melihat alur kerja (sejarah proses kreatifnya) sang perupa dan dasar identitasnya.
Puisi-puisi Yonathan Rahardjo (YR) memiliki sketsa-sketsa yang tegas. Garis-garis yang dituangkan dalam sajak-sajaknya garis yang tebal. Di titik ini saya dapat melihat bahwa YR memiliki begitu banyak letupan keinginan untuk menyampaikan identitasnya.
Pewarnaan
Mungkinkah sebuah sketsa semakin dipertebal kesannya dengan pewarnaan untuk menuju akhir sebuah proses melukis ? Mungkin. Pada banyak perupa bahkan sketsa dibuat dengan warna. Garis-garis luar sebagai pembatas bentuk langsung saja diisi dengan warna-warna yang pada fase awalnya hanya untuk membedakan tone cahaya sebagai penanda perbedaan kontur dari objek lukisan itu. Terkadang warna-warna ini cenderung tidak lazim bila ditujukan kepada karakter nyata suatu objek. Misalkan, daun diberi warna biru. Langit diberi warna cadmium dan seterusnya. Tetapi ini adalah sebuah langkah awal saja. Kelak nantinya semua akan diisi dengan warna-warna yang benar-benar representatif. Namun jangan berharap banyak bahwa akhirnya kelak serupa dengan kondisi seadanya. Kecuali pada lukisan-lukisan realis dan naturalis, hal tersebut bisa saja berbeda. Warna sudah menjadi alat ucap seperti pada sebuah puisi.
Judul puisi-puisi YR adalah warna-warna itu. Mulai dari Susu Kedele (Kedelai, pen), Bir Pletok, Kerak Telor, Kembang Goyang, Kare, Karedok, Siomay, Pecel Lele, Kambing Guling, Kacang Campur, Kacang Bali, Apem dan seterusnya memulangkan kita pada tempat-tempat di sudut-sudut kota, di pinggir-pinggir jalan hingga ke meja saji dalam sebuah resepsi pernikahan. Puisi-puisi YR memiliki judul yang menjadi tagline identitas dirinya.
Isi dari seporsi Pecel Lele adalah warna-warna yang mengalami proses peyorasi. Sementara pare (paria), kol, tahu, tepung daging dan cacahan wortel dalam sepiring Siomay ditarik oleh YR dengan kuas berukuran 6mm untuk memberikan warna yang menjadi tergradasi. Saya pun masuk ke dalam sebuah wilayah tafsir yang harus dilihat dua kali. Pertama kali mata mencerna bentuk dan warna dari kumpulan isi sebuah masakan. Kedua saya mesti “melihat” dengan lidah saya, seperti apa rasanya.
Dari kedua hal di atas, Judul dan Isi, YR sebenarnya telah cukup cermat untuk menghindari kebosanan pembacanya. Karena saya menebak, YR tidak ingin pesan “raksasa” nya akan mati ketika semangat pembacanya menjadi layu oleh ucapan-ucapan dan “baju” puisi-puisinya yang sama . Pengalaman pembaca yang pernah mencicipi masakan-masakan yang diambil oleh YR untuk dilukis ke dalam kanvasnya seakan menjadi reservoir ingatan akan rasa dan kesan yang didapat setelah menikmati makanan itu. Pada akhir prosesi menikmati makanan itu, ketika pembacanya “glege’an” dan membersihkan mulutnya dengan sebret, akan muncul rasa lapar yang lain. Rasa Lapar yang lain itulah pesan raksasa dalam puisi-puisi YR. Rasa, aroma dan tekstur isi masakan menghendaki lebih dari sekedar kesan yang muncul di lidah dan rasa kenyang.
Pembubuhan Nama
Sebuah lukisan akan memiliki autrograf pada beberapa sudut kanvasnya. Sebenarnya hal ini untuk menunjukkan tanda saja bahwa lukisan tersebut dibuat dan diselesaikan oleh sang pelukis. Autograf tidaklah mewakili identitas karya sang pelukis. Sebab goresan garis, penempatan objek dalam bidang kanvas dan pewarnaan sudah menjadi ciri khusus bahwa lukisan itu adalah karya tuan A bukan tuan B. Namun terkadang autograf juga menjadi ornamen penambah yang memperkaya isi lukisan itu.
YR meletakkan autograf terhadap puisi-puisinya bukan pada catatan kaki (sebab hanya ruang ini yang layak untuk dibubuhi autograf dalam sebuah puisi). Lebih dari itu sebenarnya YR sudah memaksa pembacanya untuk mengenal puisi-puisinya dan juga dirinya pada isi puisi itu. Rasa Lapar yang dia harapkan muncul setelah membaca puisi-puisinya juga pemilihan tema masakan ini adalah sebuah autograf yang paling valid untuk mengenal YR. Mungkin saja ada penyair lain yang memiliki autograf yang semirip dengannya, misal D Zawawi Imron pernah menuliskan beberapa puisi dengan tema makanan (Lemper, Nagasari dan Ketupat) dalam kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Ilalang. Tapi tetap saja ada pengucapan yang berbeda di antara kedua penyair itu. Puisi-puisi YR terbaca moderat untuk menyampaikan pesannya. Keterangan-keterangan tambahan yang dituliskannya beriringan dengan pencantuman imaji-imaji masakan seakan tidak ingin menyulitkan pembacanya untuk memahami maksud dari pesannya. D Zawawi Imron lebih pelit untuk melakukan hal itu. Dia membiarkan pembacanya belajar untuk mencari sesuatu dari hanya sekedar Lemper, Nagasari dan Ketupat. Bagi pembaca yang senang dengan permainan memecah sandi, puisi-puisi YR memang terkesan tidak membebaskan.
Pembingkaian
Bingkai bukanlah sesuatu yang wajib dari sebuah lukisan. Bahkan bingkai bukanlah hal yang paling difikirkan oleh seorang pelukis. Ketika karyanya di pamerkan/pajang maka peran bingkai baru terasa ada. Ada bukan berarti wajib. Bingkai yang baik juga seharusnya adalah bingkai yang memiliki kualitas estetika sebanding dengan lukisan itu sendiri. Bila bingkai terlalu mewah pusat perhatian pun akan tertuju padanya bukan pada lukisan itu sendiri. Oleh karena itu pada beberapa sisi, bingkai sering sekali menjadi bagian karya seni yang terpisah dari lukisan.
Saya adalah orang yang cenderung membayangkan kesan pembacaan (recite) ketika sebuah puisi dituliskan. Ketika memulai penulisan sebuah puisi saya akan membayangkan bagaimana kelak larik dan bait itu dibacakan. Hal ini mempengaruhi tingkat kesulitan yang saya hadapi ketika ingin memenggal pada bagian mana sebuah larik dipisahkan (enjambment). Padahal saya bukanlah seorang pembaca puisi yang baik. Hal ini berbeda dengan YR. Keahlian YR dalam mendeklamasikan puisi sepertinya masuk meresap dalam proses penulisan puisi-puisinya. Kita bisa melihat bagaimana pemenggalan kalimat dalam bait-bait puisinya. Sebuah kata sengaja dituliskan sendiri dengan harapan ada hentakan emosi ketika dibacakan. Sebagian kata dibiarkan panjang bersambung dengan tujuan untuk dibacakan secara lirih bertenaga dalam nafas yang panjang. Inilah bingkai yang saya maksud. Tujuan YR mungkin saja adalah sebuah kerja tambah estetika dalam puisi-puisinya. Namun pada beberapa sisi hal ini menjadi terkesan otoriter terhadap pembaca. Pembaca menjadi digiring untuk bersesuaian terhadap ingin YR. Akan tetapi, saya juga memahami bahwa salah satu pembeda utama antara puisi dan prosa adalah enjambment nya. Prosa tidak dituliskan dengan harapan dibacakan dalam emosi yang lepas (kecuali ketika prosa tersebut sudah diubah suai menjadi naskah sebuah drama ataupun film). Hal ini yang memang sulit untuk dilakukan. Memilih bingkai yang tepat namun tidak otoriter dalam penulisan sebuah puisi adalah pekerjaan yang sangat sulit.
Penutup
Apa yang menarik dari sebuah puisi adalah kita menjadi memiliki akses bebas untuk memahami si penyairnya. Kita menjadi psikiater yang mendengarkan keluhan-keluhan, cerita-cerita menggembirakan bahkan kebingungan-kebingungan pasien kita untuk mendapatkan kesimpulan akhir sebuah diagnosa. Lihat saja apa yang dapat saya jumpai dari puisi-puisi YR di buku ini. YR bagaiamanapun juga adalah produk lokal yang memiliki perhatian berlebih terhadap konten lokalitasnya. Pemilihan kata pada beberapa bagian bahkan terkesan tidak elit, ndeso. Pembubuhan emosi yang meledak-ledak dan gamblang adalah stereotip yang khas bagi masyarakat Jawa Timur. Dan yang paling konsisten dijaga YR adalah pesannya terhadap humanisme universal (tidak terbatas pada manusia dan makhluk hidup saja). Saya melihat kesengajaan ini bukanlah sebuah kesembronoan. YR pasti memahami proses self criticsm ketika memulai penulisan puisinya. Sebab proses self criticsm itu sebenarnya sudah dimulai ketika seorang penyair berniat menuliskan puisinya. Hal ini bersesuaian dengan apa yang ditulis oleh M.A.R Habib dalam Modern Literary Citicsm History halaman 9 bahwa proses penulisan sebuah puisi itu adalah sebuah kritik sastra(pen.). Dalam penulisan puisinya, seorang penyair melakukan judgment terhadap unsur-unsur puisinya seperti tema, tehnik penulisan, apa-apa yang diminati pembacanya, kaitan (tema) dengan budaya pendahulunya dan unsur lokalitas yang memayungi dirinya.
Sebuah puisi bagi YR adalah salah satu media saja untuk menyampaikan kegelisahannya terhadap tema-tema kerakyatan. Dan dia telah melakukannya (menulis dan mambacakan) puisi-puisinya dengan mengunggah endapan-endapan pengalaman yang telah melewati proses penyaringan (self criticsm). Hanya saja bagi saya 83 buah puisi adalah jumlah yang sangat gemuk untuk sebuah buku kumpulan puisi. Saya khawatir ketakutan saya terhadap kejenuhan pembacanya akan muncul kelak.
Sukses untuk sedulur Yonathan Rahardjo.!
Salam,
Maulana Achmad
Ciputat – 2 Juli 2009

MAJAS